Minggu, 12 Desember 2010

redenominasi rupiah



REDENOMINASI RUPIAH


Uang 1000 Lama
 





 Uang 1000 lama
Apa itu Denominasi? Denominasi adalah pemotongan nilai atau penyederhanaan dari nilai mata uang atau value mata uang dan juga barang. Pemerintah RI mulai 18 Mei 2010, mengumpulkan dana untuk memodali proyek bernama Denominasi Rupiah, yaitu memangkas tiga nol angka dalam nominal rupiah, atau yang dulu dikenal sebagai Sanering Rupiah (Sumber: BI). Peristiwa ini mengingatkan kita pada sanering 31 Desember 1965, saat Orde Lama – Soekarno memangkas nilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Caranya: uang lama ‘rupiah glabak, karena dicetak dalam lembaran besar’ yang beredar, umumnya bernilai Rp 50, Rp 100, Rp 500, Rp 1000, Rp 5000 dan Rp 10.000 ditarik oleh Bank Indonesia, kemudian ditukar menjadi 5 sen untuk Rp 50, 10 sen untuk Rp 100, dan 50 sen untuk Rp 500, lalu Rp 1 untuk Rp 1000, Rp 5 untuk Rp 5000, serta Rp 10 untuk baru Rp 10.000 lama.
    Jadi bayangkan kalau anda menerima gaji Rp 2000.000, menjadi Rp 2000,. Namun tenang saja karena nilai dari harga-harga barang pun juga ikut di denominasi, otomatis tadinya beli soto harga Rp 10.000, menjadi Rp 10,. Dan juga nilai tukar kita di mata international juga akan berubah, dari 1 dollar Amerika sekitar Rp 9000, menjadi 1 dollar Amerika menjadi Rp 9,. Keuntungannya kita tidak perlu membawa terlalu banyak uang Sanering Rupiahdalam kehidupan kita sehari-hari.
     Denominasi Rupiah, atau Sanering kali ini didanai dari Surat Utang Negara (SUN). Penjualan SUN Denominasi Rupiah ini dilakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Setelah dana terkumpul dirasa cukup oleh pemerintah, maka sanering segera dimulai. Memang wacana sanering rupiah sudah lama muncul sejak Reformasi 1999, dan kini mendekati kenyataan. Rencananya Rp 1000 saat ini akan diganti dengan Rp 1 baru, tentu dengan gambar uang kertas yang nyaris serupa. Misalnya Rp 100.000 yang bergambar Soekarno-Hatta akan ditarik, dan ditukar dengan Rp 100 baru yang juga bergambar Soekarno-Hatta, seperti dulu ketika BI menarik uang plastik Rp 100.000 berbahan polymer gambarnya hanya dimodivikasi. Lembaran bergambar I Gusti Ngurah Rai yang bernominal Rp 50.000, kelak ditukar menjadi Rp 50. Begitu pula dengan rupiah pecahan lainnya, tetapi kali ini uang kertas Rp 1000 kemungkinan besar diganti dengan koin, jadi uang kertas terkecil nantinya Rp 2 baru bergambar Pangeran Antasari. Untuk uang logam, akan di mulai dari nominal 50 sen untuk mengganti Rp 500, dan Rp 1 untuk mengganti Rp 1000.
     Begitu pula dengan nilai nominal rupiah dalam rekening bank dan slip gaji kita. Akan otomatis dipangkas 3 digit dalam penulisannya. Misalnya: rekening tabungan Rp 1.525.720,00 akan ditulis Rp 1.525,72 dan ini tentu lebih efisien, sebab denominasi rupiah akan mengangkat citra mata uang republik ini di mata dunia internasonal, karena penulisan rupiah setara dengan penulisan mata uang lain. Uang baru nantinya akan beredar bersama dengan rupiah sekarang, dan pedagang nantinya diwajibkan untuk menulis harga barang dengan dua jenis rupiah secara berdampingan. Misalnya: 1 Kg beras Rp 6.000, menjadi 1 Kg beras Rp 6000 / Rp 6 baru. Hal ini tidaklah aneh, tanpa disadari kebiasaan masyarakat saat ini memangkas nilai uang dalam istilah sehari-hari, mereka menyebut 50 untuk nominal Rp 50.000, juga 120 untuk Rp 120.000.
    Denominasi ini katanya untuk mencegah diterbitkannya rupiah dalam nominal yang lebih besar lagi akibat inflasi. Beberapa waktu yang lalu, memang dikuatirkan oleh belbagai pihak bahwa nominal dalam lembaran rupiah akan terus membengkak, bahkan hingga 7 digit, yaitu Rp 1.000.000. Kekuatiran ini diawali oleh rencana terbitnya Rp 200.000 dan Rp 500.000 pasca beredarnya uang kertas Rp 2000 pada tahun 2009 kemarin. Namun sayang, proyek denominasi rupiah kali ini pun tidak dibekali oleh pondasi yang kuat. Sanering justru dibiayai dari Surat Utang Negara (SUN), ini tentunya akan membebani rupiah kelak.
    Seharusnya pemerintah bukan mengumpulkan dana dari utang, tetapi menabung dalam bentuk emas dari sebagian penghasilannya. Kalau tak sanggup mengumpulkan emas batangan karena tak ada uang tunai, alangkah baiknya pemerintah segera mengajak masyarakat untuk menabung dalam dinar. Setelah pondasi keuangan terbentuk di masyarakat, misalnya telah beredar 25 juta koin dinar emas, barulah pemerintah mengkaitkan rupiah dengan dinar, untuk memperkuat rupiah baru.
    Hal ini tidaklah berlebihan, bila setiap keluarga WNI dianjurkan untuk menabung 1/2 atau 1 dinar emas. Lepas dari itu semua, yang terpenting bagi kita, rakyat Indonesia, denominasi rupiah tidak menjadi awal dari bencana permainan riba ex nihilo atau zero sum game dalam rupiah. Sebab nantinya rakyat yang kalah gesit mengimbangi permainan ini pasti semakin terpuruk kondisinya.
    Namun jangan sampai denominasi ini malah menyedot anggaran negara yang terlalu besar, padahal bisa dibilang masih banyak permasalahan lain dalam negara ini yang harus kita selesaikan, contohnya masalah transportasi yang selalu menjadi masalah di kota-kota besar, kemacetan dimana-mana, seperti misalnya di Jakarta. Untuk memperbaiki hal tersebut memang dibutuhkan dana anggaran, jangan sampai karena timbulnya proyek denominasi ini malah menghambat anggaran yang dibutuhkan oleh transportasi yang masalahnya tidak kelar-kelar
KELANGKAAN MENJELANG LEBARAN
Puasa Ramadhan kini telah melewati hari yang ke-26, lebaran ada di depan mata. Berdasarkan penanggalan Masehi, Hari Raya Idul Fitri 1431 H Insya Allah jatuh pada hari Jum’at tanggal 10 September 2010. Umat Islam di seluruh pelosok tanah air tinggal menunggu keputusan Kementerian Agama Republik Indonesia perihal penetapan 1 Syawal 1431 H. Bertolak dari hal tersebut, puasa Ramadhan tersisa 5 hari lagi (H-5 lebaran).
Menjelang lebaran tahun ini, seperti biasanya kesibukan dimana-mana semakin nampak. Kesibukan paling nampak ditunjukkan kaum ibu rumah tangga dan cewek. Pasar, toko dan pusat perdagangan lainnya menjadi incaran mereka. Berbagai kebutuhan rumah tangga menjadi faktor utama kehadirannya disana. Di antaranya berupa kebutuhan akan Sembilan Bahan Pokok (Sembako). Namun tidak sampai disitu saja, kebutuhan lainnya pun ikut menyertai. Semarak lebaran yang dinanti telah menyatu di hati umat Islam sejak lama.
Baju baru, nuansa baru dan hari yang baru. Pada dasarnya, hakikat lebaran tidaklah mesti dengan baju baru atau pun segalanya harus baru. Fitrah berarti kembali menjadi baru layaknya bayi baru lahir dari rahim sang ibu. Tapi sekali lagi, suasana yang semarak di hari lebaran ikut terbantu dengan hadirnya hal-hal baru dalam kehidupan tiap individu. Persiapan demi persiapan pun segera disusun sedemikian rupa. Sejak pertengahan Puasa Ramadhan, pusat pertokoan kian ramai dikunjungi pelanggan yang ingin mendapatkan baju baru. Pasar tradisional hingga pasar moderen dikunjungi demi memenuhi kebutuhan dapur.
Fenomena ini terjadi hampir di seluruh pelosok tanah air termasuk di Bonthain.  Pasar Sentral Bantaeng yang berlokasi di tengah kota Bonthain semakin ramai dan penuh sesak beberapa hari terakhir. Perubahan harga pun tak lepas dari perubahan jumlah pengunjung. Secara umum harga kebutuhan rumah tangga mengalami peningkatan signifikan. Bagi pembeli, harga yang tinggi terhadap barang yang dibutuhkan tetap akan dibelinya. Hal ini dimanfaatkan para penjual dengan menaikkan harga secara sepihak. Mentega misalnya, pada salah seorang penjual dipatok dengan harga Rp 13.000,-/Kg. Sementara di penjual lainnya dipatok seharga Rp 15.000,-/Kg. Kondisi tersebut amat merugikan pembeli, sedangkan penjual diuntungkan. Hal ini terjadi karena faktor kebutuhan yang mendesak. Semuanya menjadi primer, bahkan kebutuhan sekunder atau tersier pun akan berubah menjadi primer disaat mendesak sifatnya.
Kenaikan harga ini, patutlah diketahui masyarakat sebelum beranjak ke pasar. Dengan tujuan agar calon pembeli dapat mempersiapkan anggaran yang akan dibawanya ke pasar. Dalam hal ini management keuangan harus menjadi prioritas agar kelangsungan hidup rumah tangga tetap terjaga dan stabil. Kalau hal ini diabaikan, bisa saja kebutuhan akan barang tertentu tidak terpenuhi. Sementara barang lainnya melebihi batas maksimum dari yang dibutuhkan. Olehnya itu, Tim Bonthain yang bekerja sejak awal Puasa terus mengikuti perkembangan harga di Bonthain khususnya di Pasar Sentral Bantaeng. Berikut disajikan daftar beberapa bahan keperluan paling penting menjelang Lebaran.
Barangkali fokus tulisan singkat ini lebih difokuskan pada strategi seasonal marketing Ibadah puasa Ramadan atau menjelang lebaran, ternyata tidak hanya menjadi momentum perang melawan hawa nafsu, tapi juga menjadi ajang pemasaran. Momen tersebut tidak hanya dinanti-nanti oleh banyak orang tetapi juga di tunggu-tunggu oleh para penggerak bisnis dalam menarik konsumen. Setiap kali Ramadan atau menjelang lebaran, tidak seperti hari-hari biasa berbagai produk ditawarkan dan disediakan di supermarket atau toko-toko retail. Hal ini bisa dilihat di layar televisi, beberapa produk yang jarang beriklan pada hari-hari biasa, tidak mau melewatkan begitu saja. menjelang Lebaran karena kita sudah mendekati bulan Ramadhan. Dalam melakukan strategi pemasaran saat event lebaran misalnya perlu lebih difokuskan pada kegiatan eksternal yaitu dengan personal selling (penjulan tatap muka) dengan menawarkan dan mendatangi instansi-instansi dengan mengajukan proposal penawaran produk jauh-jauh hari sebelum menjelang lebaran. Media promosi yang digunakan saat menjelang lebaran disesuaikan dengan budget yang tersedia dan target sasaran atau segmentasi pasar, seperti media radio, media cetak, media luar ruang (spanduk), dan brosur yang berisi penawaran produk-produk yang dibutuhkan saat lebaran. Saat menjelang lebaran tetap mempertahankan komitmennya untuk memberikan harga murah, layanan yang baik, mengutamakan kepuasan pelanggan dan menjaga kepercayaan. Wallahua’lam ditandai dengan bergeraknya harga jual daging sapi dan kerbau menjadi lebih tinggi dibandingkan hari biasa. Kenaikan harga bahan pokok lainnya juga makin tak terkendali. Gejolak harga barang terjadi hampir di seluruh daerah di daerah.trend kenaikan harga sudah biasa pada saat-saat menjelang lebaran. Karena itu tidak heran para pedagang berspekulasi menaikkan harga daging, sapi, kerbau, kambing, ayam dan bebek hingga 50 persen dari harga hari biasa. Hampir tak ada pedagang yang menjual daging dengan harga biasa. Pedagang umumnya menaikkan harga. Ini membuat daging sapi dan kerbau di menjadi naik di seluruh Indonesia. Tidak hanya harga daging yang melonjak, harga bahan pokok lainnya menyusul melejit seperti gula dan minyak goreng. Melonjaknya kedua bahan pokok tersebut dipengaruhi meningkatnya permintaan menjelang bulan Ramadhan. Kenaikan juga terjadi pada berbagai jenis rempah kebutuhan dapur seperti bawang putih, bawang merah dan cabe merah.Seolah sudah menjadi fenomena tahunan setiap menjelang bulan puasa dan lebaran akan terjadi lonjakan harga berbagai kebutuhan pangan. Inilah yang memperkuat ekspektasi dari kalangan pedagang bahwa pada hari besar tersebut permintaan akan naik sehingga menjadi alasan bagi mereka untuk menaikkan harga barang. Sementara para konsumen pun memiliki ekspektasi bahwa pada waktu tersebut harga wajar untuk naik. Dua pertemuan ekspektasi tentang kenaikan harga antara konsumen dan pedagang itu membuat kenaikan harga-harga tersebut kelihatan wajar. Bukan karena langka Menariknya meningkatnya harga beberapa komoditas pangan menjelang Ramadhan bukan karena kelangkaan barang. Namun lebih disebabkan faktor psikologi penjual dan agen barang. Persediaan barang sebenarnya tetap cukup untuk memenuhi permintaan konsumen yang melonjak. Mereka memanfaatkan momen dengan menaikkan harga menjelang perayaan hari-hari besar demi mengeruk keuntungan. Ditambah lagi dengan perilaku konsumen yang tetap berbelanja walau harga meningkat. Kedua sisi inilah yang membuat trend kenaikan harga menjelang puasa terus terjadi setiap tahun. Maka hukum pasar pun berlaku, jika permintaan meningkat maka harga pun naik. Padahal kemampuan membeli masyarakat rendah karena naiknya harga tidak diimbangi dengan meningkatnya jumlah pendapatan. Masyarakat seakan tidak memiliki pilihan. Meskipun harga berbagai kebutuhan pokok naik, mereka tetap membelinya untuk memenuhi kebutuhan menyambut Ramadhan.Tentunya masyarakat kurang mampu berharap pemerintah bisa turun tangan. Pemerintah seharusnya mengontrol harga kebutuhan agar tidak mengalami kenaikan harga yang signifikan dibandingkan hari-hari biasa sebab sangat memberatkan masyarakat. Lantas apa yang dilakukan pemerintah? Pemerintah memang sudah melakukan usaha untuk menekan harga di pasaran. Salah satunya yaitu program menyediakan daging sapi dengan harga Program menjual daging murah pada bertujuan agar masyarakat yang kurang mampu bisa membeli daging sapi dan sejenisnya, setiap puasa harga daging naik, sehingga pemerintah perlu melakukan upaya pengendalian harga. Bagaimana dengan bahan pokok yang lainnya? Pemerintah memang tidak bisa mengambil langkah intervensi lebih jauh. Sehingga pemerintah hanya bisa mengimbau kepada pedagang untuk tidak menaikkan harga. Himbauan tersebut memang wajar karena kenyataan menunjukkan pasokan barang di lancar dan tidak ada kendala transportasi.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar